Batas di Dalam Batas


Dimensi lain dari pada istiqomah adalah disiplin diambang batas. Bahwa keimanan manusia itu fluktuatif adanya, itu wajar. Atau setidaknya ditoleransi. Yang penting tidak sampai luruh pada perkara yang haram. Lihat sabda berikut;

لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Setiap amal memilki puncak, dan setiap puncak memiliki masa penurunan. Maka barang siapa yang masa penurunannya berada pada sunnahku, ia benar-benar beruntung. Dan barang siapa yang (masa penurunannya) pada selan itu, maka ia telah binasa (HR Ahmad)

Pesannya jelas, bahwa Allah melegitimasi keterbatasan manusia. Sebab memang Allah tidak memberi beban melebihi kapasitas kemampuan manusia. Di sisi lain, Allah juga tidak membuat aturan yang mempersulit manusia. Tapi dalam pengakuan terhadap keterbatasan itu, ada batas minimal yang mesti dipegang erat-erat. Ada garis batas akhir yang tidak boleh kita langgar dan dilewati. Nah, kemampuan untuk konsisten dibatas dalam batas inilah salah satu dimensi dari istiqomah.

Jangankan ruhani, fisik kita pun ada masanya lelah dan sakit. Adakalanya sibuk dan giat, ada masanya senggang dan longgar. Anggaplah masa senggang adalah masa fatrah, disitulah kita diuji, seberapa kuat berpegang pada batas akhir dari setiap keterbatasan diri. Seperti apa kita mengisi masa senggang, disitulah sebenarnya kualitas diri dinilai secara akurat. Saat kita merdeka memilih sikap-sikap dan perilaku sendiri. Bagi seorang murid misalnya, apakah seabrek aturan yang selama ini membimbing langkahnya di sekolah telah berhasil menanamkan nilai-nilai kebaikan dan karakter yang luhur? Bagi siapapun secara umum, apakah rutinitas ibadah itu terasa seperti ‘pengekangan’ dan ‘penjara’? Sehingga masa senggang adalah masa di saat seperti kuda terlepas dari ikatan?

                Jangankan kita, sahabat yang mulia pun punya kisah unik. Tersebutlah pada suatu hari, terdengar teriakan di jalan kota

“Handzalah munafiq! Handzalah munafiq!”

Yang mengejutkan, rupanya Handzalah sendiri yang berteriak. Abu bakar yang heran dengan hal itu lantas memanggil handzalah,

“Apa yang kau perbuat wahai Handzalah?”, kata Abu bakar

“Aku merasa jika berada di hadapan Rasul, diingatkan tentang surga dan neraka, terasa akhirat sudah berada di hadapan.  Tetapi setelah berpisah, bertemu dengan anak dan istri di rumah, menjadi lupa semuanya”,panjang lebar Handzalah menjelaskan perasaannya

“Demi Allah”, kata Abu Bakar,”aku juga merasa begitu”

Mereka berdua kemudian menghadap Nabi, menjelaskan apa yang mereka rasakan. Lalu Nabi bersabda,

“Demi Allah, jika kondisi kalian dimanapun sama dengan saat di hadapanku, maka kalian akan di salami malaikat, di tempat tidur, maupun di jalan. Tetapi semua ada saat/masanya, wahai Handzalah”


Aduhai, bijaknya Nabi kita ini. Semua ada masanya. Ada masanya tegang dan serius, ada masanya melebur dalam canda dan tawa. Nah, bagian dari dimensi istiqomah adalah orang yang saat masa fatrah-nya tetap berada dalam sunnah rasul. Tidak sampai keluar dari garis batas larangan Nya. Allah mengakui dan memberi toleransi, bahwa manusia ada batasnya, maksimal maupun minimal. Tapi di dalam keterbatasan itu, ada batas berikutnya yang musti dijaga. Jika ini bisa dijalani, resmilah predikat istiqomah bisa disematkan.

Comments

Popular posts from this blog

BELAJAR KEARIFAN DAKWAH DARI WALISONGO (CERAMAH HALAL BIHALAL Ust. SALIM A. FILLAH)

KEKUATAN DOA