Berdamai dengan Kenyataan
Adakalanya mesti berdamai dengan kenyataan
Membiarkan hidup mengalir seperti adanya,
bukan seperti yang seharusnya
Mencoba memaknai yang tampak tak bermakna
Hingga kebaikan menampakkan diri satu
persatu
Terima kasih Tuhan, masih kau beri aku
kesempatan
Berdamai dengan kenyataan. Ini
bukan derai keputus asaan atau ekspresi ketidak berdayaan. Bukan pula ungkapan
pelarian dan kemalasan menaklukkan hidup. Sama sekali bukan. Sebaliknya, ia
adalah sebuah upaya menanamkan rasa syukur atas karunia Allah SWT, dari awal
hingga penghujung. Sembari berharap akan
lahir kemahiran menyiasati keterbatasan, memaksimalkan potensi, tetap melangkah
tanpa menunggu kesempurnaan, dan penuh keredhoan menyambut hasil pekerjaan.
Maka, berdamai dengan kenyataan ini mengiringi setiap tahapan. Mulai dari saat
sebelum beramal, ketika beramal, dan saat menuai hasil dari amal.
Apa sih modal menjalani
hidup? Semua sama, hati, akal dan jasad. Tak ada yang lebih mulia, tak ada yang
lebih hina. Semua lahir dalam kondisi fitrah, tak mewarisi dosa turunan. Lalu orang
mulai menengok kanan dan kiri, membuat perbandingan-perbandingan, dan
adakalanya merasa si fulan lebih mujur, memiliki modal lebih baik. Betulkah
begitu? Sepertinya tidak. Menjadi kelihatan betul karena lantas terjebak
membuat ukuran-ukuran sendiri, dan meninggalkan standar yang dimaui Tuhan.
Harta yang banyak, keturunan yang hebat, pangkat terhormat, gelar berderet
deret, popularitas. Memangnya hidup ini untuk apa? Jadi, selama modalnya sama,
hati, akal dan jasad, mengapa harus merasa lebih merana daripada orang lain?
Berikutnya, masuk ditahap
amal. Adakalanya, orang tak mau beranjak melangkah karena merasa tak memiliki
kepantasan. Tak sekaya si anu, tak sepandai si anu, tak secakap si anu.
Kalaupun lantas beramal, tertunai asal-asalan. Mau tau error-nya dimana?
Sebab ia merasa standar amal harus seragam, yang tampak besar di mata khalayak.
Lalu ia mulai meremehkan amal-amal (yang keihatannya) kecil, meremehkan potensi
dan kemampuan diri. Ia tak sadar, bahwa
pantai yang luas menghampar itu sejatinya adalah gugusan berjuta pasir yang
merenik. Bahwa gunung yang tinggi menjulang sejatinya adalah tumpukan tanah dan
batuan. Itulah sebabnya Nabi melarang meremehkan kebaikan kebaikan yang tampak
kecil. Sebab kebaikan besar yang tampak dalam suatu masyarakat, itu adalah ekspresi kolektif dari
kebaikan-kebaikan individunya. Jadi
berhentilah memuja formalitas, lakukanlah yang terbaik, sesuai dengan kapasitas
masing-masing, tanpa menunggu citra dan sanjungan.
Pada akhirnya,setiap kita juga
mesti berdamai dengan kenyataan kala menuai hasil. Betapapun peta jalan hidup
sudah dirancang, dengan rumus-rumus dan perhitungan yang rumit, pastilah ada
saja yang meleset. Fakta – fakta yang tak sesuai planning. Capaian – capaian di
luar target. Disinilah keimanan pada qodho dan qodar diuji. Tak mudah, itu
pasti. Tapi tak ada yang sia-sia. Sebab memang hidup tak mesti berjalan seperti
yang seharusnya. Adilnya, Tuhan tak menilai orang dari hasinya, tapi dari
ikhtiar dan usahanya. Maka selama amal sudah menyentuh ujung, biarkan saja hidup mengalir sebagaimana
adanya. Sembari membasuh peluh, lihatlah kebaikan yang menampakkan diri satu
persatu. Sisi sisi lain kebaikan yang menyembul di luar perhitungan. Oh, betapa
Tuhan sebaik-baik pembuat rencana.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا
تَعْلَمُونَ
Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui .(A baqoroh 216)
Keren
kan ayatnya. Jadi, jika merasa hidup ini tampak tak bersahabat,
kemungkinannya tiga : tidak mensyukuri modal, atau amal yang tidak maksimal,
atau kurang yakin dengan takdir.
Comments
Post a Comment