Di Taman Para Pecinta
Cinta itu luas tak bertepi. Tak seorangpun tahu
di mana batasnya. Orang hanya mengerti, ketika perjalanan hidup begitu terjal
dan kasar, cinta datang menghaluskannya. Ketika setiap desah nafas adalah
rentetan detik yang kerontang, cinta datang menyejukkannya. Tapi apakah itu
cinta? Berduyun-duyun orang datang mendefinisikan cinta. Dalam deretan ini, ada
pemikir-pemikir besar seperti Ibnu Hazm, Ibnu Qayyim al Jauziyah, …dan tentu
saja kita. Tapi cinta tetap saja selicin belut. Barangkali, karena ia datang
untuk dirasakan, bukan didefinisikan.
Tak heran ketika di taman para pecinta, kita
dapati banyak orang tersesat jalan. Sebagian mereka terlalu menyederhanakan
cinta, sehingga cinta harus ternoda oleh syahwat syaithoni. Yang
sebagian lagi terlalu rumit mengartikan cinta, sehingga cintapun malah beranjak
menjauh. Seorang perempuan di negeri Arab datang menghadap psikolog dalam isak
tangis tak berkesudahan, karena cinta, katanya. Sekelompok muda-mudi di negeri
Eropa berkumpul dalam ruangan tertutup tanpa mengenakan busana sehelaipun,
karena ini hari cinta dan kasih sayang, kata mereka. Serombongan pengikut
aliran sufi menari berputar-putar, melakukan gerakan-gerakan aneh, sampai
kehilangan kesadarannya. Dan mereka bahkan tak peduli bahwa ritual cinta itu
telah mengusik kemarahan sang penguasa. Mereka lalu rela dibunuh, karena kami
mencintai Tuhan, kata mereka. Seperti itukah cinta?
Barangkali
kita akan keberatan ketika cinta harus dihunus dengan pisau tajam halal dan
haram, yang membuatnya berdarah-darah karenanya. Tapi seorang pecinta sejati
akan lebih tidak setuju ketika cinta harus diwujudkan dalam pesta pora ikhtilath,
khalwat dan beraneka ragam pacaran. Maka, samar-samar kita mulai meraba,
bahwa yang penting bukanlah apa itu cinta, tetapi siapa yang kita cintai dan
bagaimana mencintainya. Sampai di sini, cinta bukan lagi sekedar seni
menghamburkan kata-kata romantis atau mengabstraksikan masa depan dengan
angan-angan yang rapuh. Tetapi cinta, untuk sebagiannya, adalah menempatkan
sesuatu berdasarkan urutan prioritas. Jelasnya, cinta adalah sesuatu yang
serius.
Maka cinta akan berbaris rapi pada jalurnya,
hanya ketika dasarnya adalah keikhlasan
untuk mencintai karena Allah Sang Maha Penggenggam Cinta. Alangkah
menyejukkannya berbagi cinta dengan orang yang ikhlas. Tutur katanya tulus,
perilakunya tidak dibuat-buat, tetapi kualitas amalnya sempurna. Raganya sibuk
bekerja, tapi jiwanya khusyu` menghadap Allah. Adakalanya ia seperti matahari,
yang tak bertambah atau berkurang amalanya, hanya karena bekerja di bawah
persaksian orang ramai. Atau adakalanya ia seperti air, yang merembes dalam
pori-pori tanah, menyuburkan di keheningan. Tiba-tiba saja alam menjadi terjaga
berkat kerja keras matahari dan air. Matahari dan air, keduanya adalah pecinta
sejati di garis keikhlasan. Dedikasinya tak tergadaikan oleh penilaian makhluk.
Saudaraku, kita tak akan menjadi pecinta sejati,
sebelum membersihkan virus-virus yang menggerogoti keikhlasan. Dengan itu kita
akan mendistribusikan manfaat secara maksimal kepada orang lain. Apa yang
membuat Abu Bakar Ash Shiddiq rela memberikan seluruh hartanya untuk
kepentingan orang banyak? Jawabnya pasti, ia ikhlas mencintai karena Allah.
Comments
Post a Comment