Kekayaan Jiwa
Kita mestinya pernah mendengar kisah buron yang mengemplang uang negara
triliunan rupiah. Untuk apa? Atau mungkin juga pernah membaca jutawan yang
membangun rumah pribadi dua puluh tujuh lantai seharga triliunan rupiah. Untuk
apa? Atau ada pena yang ditawarkan seharga hampir sepuluh miliar. Untuk apa?
Atau ada yang ditangkap dan digarasinya ada belasan mobil mewah miliaran
rupiah. Untuk apa? Dunia ini semakin direnungkan semakin lucu saja. Sebagaimana
manusia penghuninya, banyak yang semakin tua semakin kekanak-kanakan. Makin
jelas kebenaran sabda Tuhan, bahwa dunia adalah permainan dan tipu daya,
hanyalah kesenangan yang menipu. Sesiapa yang menjadikan dunia sebagai
tujuannya, maka resikonya akan kena tipu berkali-kali.
Baik, lupakanlah orang lain. Mari bercermin. Kita barang kali adalah
salah satu dari sekian banyak orang yang tak pernah merasa cukup. Waktu yang
tak cukup. Tenaga yang tak cukup. Materi yang tak cukup. Kekayaan yang tak
cukup. Padahal, ditengah semua keluhan kita tentang ketidak cukupan itu, Allah
tak pernah berhenti mengalirkan nikmat. Dan nyatanya, hidup kita berjalan baik
baik saja. Kebanyakan orang yang menganjurkan menjadi kaya, alasannya adalah
karena jihad itu butuh harta yang banyak. oke. Saya tidak sedang ingin menyangkal akan pentingnya
harta bagi seorang muslim. Saya juga membenarkan yang berpendapat bahwa
miskinnya rasul itu miskin pilihan. Beliau memilih miskin, karena kalau sekedar kaya harta, beliau sudah pernah
merasakannya.
Tapi ada baiknya merunut
definisi kaya ini. Dalam bahasa arab, kaya adalah ghoniy. Artinya bukan banyak harta, tapi ini : merasa cukup! Jadi
kaya itu bukan banyak sedikitnya nominal deposito. Bukan luas sempitnya tanah.
Bukan mewah tidaknya rumah dan kendaraan. Tapi adalah, apakah merasa cukup
dengan nikmat yang ada atau tidak, disitu intinya. Maka, entah seberapa triliun
uang yang dimiliki, selama tidak pernah merasa cukup, ia sejatinya miskin.
Sebaliknya, rizki yang secukupnya, dan ia merasa cukup dengannya, maka ia
adalah orang kaya. Oleh karena itu, jika ada orang yang tak berhenti memamerkan
kekayaan pribadinya, maka kasihanilah ia. Sebab sejatinya ia sedang mengumumkan
kemiskinan jiwanya yang tak pernah merasa puas. Bahwa ada standar kehidupan
yang layak secara umum, itu bisa dimaklumi. Seperti upah minimal dan
sebagainya. Tapi itu penilaian fisik belaka, dan biasanya untuk kepentingan
data dan statistik. Adapun dalam hati siapa tau. Maka layaklah kalau nabi
mengajari kita doa, Ya Allah aku berlindung kepadamu dari jiwa yang tak pernah
merasa cukup.
Saya masih agak kesulitan
membayangkan pola hidup Nabi Muhammad SAW,khususnya dalam hal penghasilan.
Sering kita membaca riwayat tentang bagaimana beliau datang kepada istrinya
untuk makan. Lalu istrinya menjawab,tidak ada apa-apa. Kali lain juga kita baca
riwayat tentang dapur beliau yang tidak menyala sebulan lamanya. Atau beliau
mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar. Tapi di sisi lain, kita
tertegun dengan riwayat – riwayat semangat beliau dalam berinfaq dan sedekah.
Diantaranya cerita malaikat jibril tentang bagaimana dermawannya Nabi.
Lebih-lebih ketika bulan ramadhan, dermawannya mengalahkan hembusan angin. Jadi
bagaimana? Satu-satunya titik temu yang bisa menjembatani adalah kekayaan jiwa
beliau. Kekayaan jiwa yang berpadu dengan semangat ukhuwwah inilah yang
mendorong beliau untuk bersikap begini : tak mengapa serba terbatas untuk
pribadi, tapi selalu ada alokasi dana untuk sedekah. Keren kan?
Maka sungguh tepat ketika
beliau bersabda;
لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Ukuran kekayaan itu bukanlah banyaknya harta,tapi
sejatinya,kekayaan itu adalah kekayaan jiwa (HR Al Bukhori)
Comments
Post a Comment